CERPEN 

Sampah Kota Smece

Rizqi Turama, dosen di Universitas Sriwijaya. Salah satu cerpenis pilihan Kompas tahun 2018. Beberapa cerpennya pernah dimuat di Kompas, Magelang Ekspress, Koran Pantura, dan lain-lain. Aktif di Sanggar EKS dan Komunitas Kota Kata Palembang. Buku terbarunya berjudul Teriakan dalam Bungkam.

 

Sejak otoritas Kota Smece[1] mengesahkan peraturan perburuan sampah, semua penduduk begitu bersemangat menghabiskan semua sampah yang tersisa. Tentu saja. Raja Phohora[2] sendiri yang akan memberikan hadiah. Dan jumlahnya itu bukan jumlah yang main-main, seratus juta Roska[3]. Bahkan satu miliar Roska jika sampah yang diserahkan termasuk dalam kategori sampah langka.

Perihal pengesahan itu sendiri bukan tanpa kontroversi. Sebagian anggota kehormatan dewan kota menganggap pemusnahan sampah adalah sesuatu yang berlebihan. Bahwa sampah juga adalah tempat penduduk bumi belajar sejarah. Jejak kehidupan bisa dilihat dari keberadaan dan jenis sampah. Dan yang utama, tidak semua sampah berbahaya.

Tapi itu hanya sebagian kecil. Sebagian besar sisanya lebih suka mengambil posisi aman. Sejarah telah mengajarkan mereka bahwa sampah bisa jadi begitu mematikan. Tak ada yang mau masa-masa Pemberontakan Sampah terulang lagi. Masa-masa ketika sampah yang telah dimodifikasi melakukan serangan balik dan hendak menguasai bumi.

***

 

Dua ratus tujuh puluh tahun sebelum tanggalan Fatra[4], sebuah kesalahan terjadi. Injeksi teknologi ke sebuah onggokan sampah yang berisi darah kotor seharusnya membuat sampah itu mampu menghancurkan diri sendiri dan terurai menjadi zat yang bisa diserap tanah, justru membuat sampah itu membangun diri dan menyerap saripati tanah.

Pelaku injeksi tak menyadari kesalahannya dan menganggap itu sebagai sebuah kesalahan percobaan biasa. Ia meninggalkan lokasi percobaan dengan kesal tanpa tahu bahwa sampah yang diinjeksi perlahan tumbuh. Hingga akhirnya tahun 345 Fatra, ribuan sampah yang bisa bergerak menggegerkan otoritas Kota Smece.

Masalahnya, sampah-sampah itu tak hanya bergerak, mereka bereproduksi, juga membangun teknologi. Bahkan di luar dugaan, sebagian teknologi mereka bisa menyaingi kemampuan otoritas Kota Smece. Membuat perang yang pecah menjadi berlarut-larut. Hanya karena kalah jumlah, sampah-sampah itu bisa dimusnahkan. Kali ini, tanpa kesalahan prosedur. Mereka, sampah-sampah itu, diinjeksi hingga benar-benar terurai dan menyatu dengan zat hara tanah.

***

 

Demi keping-keping Roska, tak ada yang mengira bahwa berburu sampah bisa jadi menegangkan sekaligus menyenangkan. Pertemuan dengan sampah hanya mungkin berujung pada dua hal: kematian atau kekayaan. Namun, sekali lagi warga Kota Smece menunjukkan kepiawaiannya.

Mereka telah mampu membaca pola-pola yang dibuat para sampah. Sehingga angka kematian akibat perang melawan sampah turun drastis sementara pendapatan mereka dari raja membubung tanpa ampun. Hingga akhirnya sampah menjadi sesuatu yang langka. Bahkan, beberapa radar menyatakan bahwa tak ada lagi populasi sampah yang perlu dikhawatirkan.

Di sisi lain, bumi semakin bersih. Hijau. Udara begitu sejuk. Hewan-hewan tumbuh tanpa ancaman polusi dan racun lainnya. Warga Kota Smece hidup bahagia. Begitu juga kota-kota lain. Penduduk bumi merasakan puncak peradaban. Lalu sebagai sebuah upaya mensyukuri hidup Raja Phohora pun mengadakan pesta simbol kebebasan dari sampah.

Sialnya, tepat di acara puncak perayaan tersebut, seonggok sampah, tanpa diundang, tanpa ragu, tanpa malu, tanpa diketahui dewan keamanan Kota Smece, tiba-tiba muncul di podium. Berhadapan langsung dengan Raja Phohora. Membuat seantero warga terdiam.

***

 

“Aku sudah lama menantikan pertemuan ini,” ucap Raja Phohora. Warga yang memang sudah diam, jadi tambah diam. Melihat raja mereka tampak tak cemas menghadapi sampah yang jelas-jelas mampu menyusup di tengah ketatnya pengamanan dewan kota. Sementara, si sampah itu tersenyum. Menatap Raja Phohora dari atas sampai bawah.

“Aku sudah tua dan hampir mati. Tanpa perlu merepotkanmu, aku akan menyatu dan terurai menjadi zat hara tanah dengan sendirinya,” ujar si sampah.

“Lalu kenapa kau hadir di sini?”

“Hanya ingin menjadi saksi.”

Raja Phohora tampak menganggukkan kepala. Bijaksana. “Lihatlah. Sesukamu. Lalu kau boleh pergi.”

Sampah itu melihat ke arah kerumunan warga. Ada tumpukan plastik kresek dengan cap pusat perbelanjaan. Berpilin sedemikian rupa sehingga bentuknya menyerupai gurita cacat. Ada bekas sedotan plastik dari kehidupan ribuan tahun lalu. Menyatukan diri membentuk sebuah kuda dengan lima kaki dan tujuh kepala. Ada juga bekas-bekas botol minuman yang rangkaiannya sangat mirip dengan kalajengking berkepala monyet. Dan ada ribuan jenis lain yang tak dapat dikenali. Semuanya menatap dan ditatap lekat-lekat oleh si sampah.

Warga Kota Smece yang begitu ramai berkumpul. Tak ada satu pun yang tak lepas dari tatapan si sampah tak diundang.

Lalu di akhir, sampah itu kembali melihat Raja Phohora. Tumpukan pembalut bekas yang kini bentuknya benar-benar mirip manusia. Mirip si sampah itu sendiri.

Saat sampah itu menunjukkan tanda-tanda bahwa ia ingin pergi, Raja Phohora sempat bertanya, “Apakah kau menyesal telah salah menginjeksikan teknologi padaku?”

Sekali lagi sampah itu tersenyum, “Apakah benar aku salah?”

Baik raja maupun sampah sama-sama tersenyum. Hanya warga Kota Smece yang jadi bingung.

Dan bumi masih saja hijau.

***

 

**Semua kata asing dalam cerpen ini berarti ‘sampah’.

 

ART.

Campang Tiga, 10 Agustus 2019.

 

[1] Dari Bahasa Bosnia

[2] Dari Bahasa Nepal

[3] Dari Bahasa Finlandia

[4] Dari Bahasa Kreol Haiti

Related posts

Leave a Comment

14 − 1 =